Jumat, 08 Mei 2015

MAKALAH FIQIH 1 TENTANG JARIMAH HUDDUD


PENDAHULUAN

Jinayah adalah adalah suatu tindakan yang dilarang oleh syara` karena dapat menimbulkan bahaya bagi agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan sebagainya. Dengan demikian istilah fiqh jinayah sama dengan hukum pidana.

Untuk mempersempit pembahasan maka disisni pemakalah hanya akan membahas masalah yang berkenan dengan hudud dan ta’zir saja.
Jarimah hudud adalah tindak pidana yang diancam hukuman had, yakni hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlah (berat-ringan) sanksinya yang menjadi hak Allah SWT, dan tidak dapat diganti dengan macam hukuman lain atau dibatalkan sama sekali oleh manusia. Ada tujuh macam perbuatan jarimah hudud yaitu, zina, menuduh orang lain berbuat zina (qazaf), meminum minuman keras, mencuri, menggangu keamanan (hirabah), murtad, dan pemberontakan (al-bagyu). Adapun jarimah ta’zir Secara bahasa ta’zir merupakan mashdar (kata dasar) dari ‘azzaro yang berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, membantu. Sedangkan menurut istilah ialah tindak pidana yang diancam dengan satu atau beberapa macam hukuman dan sanksinya tidak ditentukan dalam Al-Qur’an melainkan dari hasil ijtihad para ulil amri. Misalnya, tidak melaksanakan amanah,ghasab,menghina atau mencela orang, menjadi saksi palsu dan suap.

PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN PIDANA

Secara kebiasaan kata – kata “pidana” , “uqubad”,  atau “jarimah”  sebagai yang lazim digunakan di kalangan fuqohah hampir tergambar  tersurat  dalam al – qur’an, akan tetapi pemahaman tentang pidana akan dapat dipahami secara tersirat dari banyak  ayat – ayat yang membicarakan tentang  ‘uqubad, jinayat atau jarimah ini. Istilah yang paling dikenal untuk penertian pidana ini di kalangan ulamah salaf adalah ‘’al – jinayat”.   Sedangkan di kalangan ulama’ kalaf, mereka menamakan kitab sebagai pidana dengan kitab “al – uqubat”[1].

Pidana adalah segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seorang mukallaf, yang melanggar, perintah atau larangan Allah yang dikitbatkan kepada orang mukallaf, yang dikarenakan ancaman hukuman, baik sanksi itu harus dilaksanakan sendiri, dilaksanakan penguasa, baik tempat pelaksanaan hukuman itu di dunia maupun akhirat.

Menurut  hukum pidana umum, yang dimaksud dengan “tindakan pidana” adalah suatu tindakan (berbuat atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan hukum nasional , jadi yang bersifat tanpa hak yang menimbulkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Jadi unsur yang penting sekali untuk peristiwa pidana (dilihat dari sudut objektif) adalah sifat tanpa hak yakni sifat melanggar hukum.  Di tempat mana tidak terdapat unsur tanpa hak, maka tidak ada peristiwa pidana.

B.  JARIMAH HUDUD

Jarimah Hudud sering di artikan sebagai tindak pidana yang macam dan sanksinya di tetapkan secara mutlak  Oleh Allah[2].Sehingga manusia tidak berhak untuk menetapkan hukuman lain selain hukum yang di tetapkan berdasarkan kitab allah. Kejahatan hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana islam.ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik. Jumhur ulama’ merumuskan jarimah hudud ada tujuh yaitu : zina, Qadzaf(Tuduhan palsu zina), sariqah(Pencurian), hirabah(Perampokan), Riddah (murtad), al-baghy(Penberontakan) dan syurb al-khamr(Meminum khamr).sementara madzab malikiyah hanya memasukan jarimah hudud dalam lima kategori yaitu: zina, qadzaf, sariqah, hirabah dan baghy.

1.    Jarimah Zina

Zina adalah hubungan kelamin antara lki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan di lakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat.Deik perzinaan di tegaskan dalam al-Qur’an dan sunah. Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah ( ghairu mukhsan) di dasarkan pada ayat Al-Qur’an yakni di dera 100 kali,Sedangkan bagi pezina muhsan dikenai hukuman rajam.Rajam dari segi bahasa adalah melempari batu,sedangkan menurut istilah adalah melempari pezina muhsan sampai menemui ajalnya[3]. Adapun hukum dasar dera atau cambuk 100 kali adalah firman Allah dalam surat an-Nur ayat 2

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.

Sedangkan penetapan hukum rajam adalah berdasarkan hadis nabi:

خذوا عني خذوا عني قد جعل الله لهنّ سبيلاً البكر بالبكر جلد مِائة ونفي سنة والثيّب بالثيّب جلد مِائة والرجم

“Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh allah telah memberi jalan kepada mereka.bujangan yang berzina dengan gadis di jilid seratus kali dan di asingkan selama satu tahum.dan orang yang telah kawin dan berzina did era seratus kali dan di rajam”.

Zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya di kenakan sangsi yang amat berat, baik itu hukum dera maupun rajam,karena alasanyang dapat di pertanggung jawabkan secaramoral adan akal.kenapa zina di ancam dengan hukuman berat hal ini di sebabkan karena perbuatan zina sangat tercela oleh islam dan pelakunya di hukum hukuman rajam(di lempari batu hingga meninggal dengan di saksikan banyak orang).jika ia muhsan.jika ghoiru muihsan,maka di hukum cambuk 100 kali.

2.    Jarimah qazf

            Qazf dari segi bahasa berarti ar-rumyu(melempar).menurut istilah qazf adalah menuduh wanita baik baik berbuat zina tanpa adanya alasan yang meyakinkan. Dalam hukum islam,perbuatan seperti ini masuk kategori tindak pidana hududyang di ancam dengan hukuman yang berat yaitu 80 kali.hukuman bagi orang yang menuduh zina tapi tidak terbukti(qazf) di dasarkan pada firman Allah surat an nur ayat 4:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.

     Unsur dalam tindak pidana dalam jarimah qadzaf ini ada tiga, yaitu :

a.       Menuduh zina atau mengingkari nasab.

b.      Orang yang di tuduh itu muhsan, dan bukan pezina.

c.       Ada itikad jahat. Orang yang menuduh zina harus membuktikan kebenarannya.[4]

3.    Jarimah sariqah.

Sariqah(pencurian)di definisikan sebagai perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam dengan maksud untuk memilikin serta tidak ada paksaan. Menurut syarbini  al khatib yang di sebut pencurian adalah mengambil barang secara sembunyi sembunyi di tempat penyimpanan dengan maksut untuk memiliki yang di lakukan dengan sadar atau adanya pilihan serta memenuhi syarat-syarat tertentu.[5] Al-Qur’an menyatakan orang yang mencuri di kenakan hukum potong tangan.Hukum potong tangan sebagai sangsi bagi jarimah sariqah di dasarkan pada firman Allah surat Al-maidah ayat 38:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

            Hukum potong tangaan di berlakukan dalam islam dengan mempertimbangkan dengan syarat dan rukun yang sangat ketat.

a.       syarat yang berkaitan dengan subyek yaitu pelakunya dewasa ,tidak terpaksa dan tahu bahwa perbuatan itu di larang.

b.      Syarat yang berkaitan dengan materi curian yaitu mengambil harta secara diam-diam ,mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaan.

c.       Syarat berkaitan dengan obyek yaitu barang yang di curi berupa hartabenda dan bergerak,serta mencapai satu nilai minimal tertentu.Imam malik mengukur nisab sebesar ¼ dinar atau lebih sedangkan imam abu Hanifah menyatakan bahwa nisab pencurian itu senilai 10 dirham/ 1 dinar.[6]

4.    Jarimah hirabah.

Hirabah sama dengan qat’u tariq yaitu sekelompok orang yang membuat keonaran,pertumpahan darah,merampas harta,kehormatan, tatanan serta membuat kekacauan di muka bumi.[7] Dasar hukum jarimah hirabah adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 33 sebagai berikut :

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الأرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.

            Jarimah hirabah dapat terjadi dalam berbagai kasus, Antara lain yaitu :

a.    Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara terang-terangan dan mengadakan intimidasi,namun ia tidak jadi mengambil harta dan tidak membunuh.

b.    Seseorang berangkat dengan niat untuk mengambil harta dengan terang-terangan dan kemudian mengambil dengan harta yang di maksut tetapi tidak membunuh.

c.    Seseorang berangkat dengan niat merampok ,kemudian membunuh tetapi tidak mengmbil harta korban,.dan

d.   Seseorang berangkat untuk merampok kemudian ia mengambil harta dan membunuh pemiliknya.[8]

            Sanksi bagi perampok menurut Imam abu hanifah ,Imam syafi’i dan Imam ahmad berbeda beda sesuai dengan perbuatannya. Bila hanya mengambil harta dan membunuh ia di hukum salib ,jika ia tidak mengambil harta tetapi membunuh ia di hukum bunuh. Jika hanya mengambilharta dengan paksa dan tidak membunuh,maka sangsinya adalah potong tangan dan kaki secara bersilang,bila hanya menakut nakuti hanya  hukum penjara.Menurut imam malik , sangsi hirabah ini di serahkan kepada imam untuk memilih salah satu hukuman yang tercantum dalam ayat di atas yang sesuai dengan kemaslahatan.Bagi pelaku yang mengambil harta dan membunuh maka hukumannya menurut pendapat imam syafi’i ,ahmad dan Zadiyah adalah di hukum mati lalu di salib.Sedangksn menurut imam abu hanifah ,ulil amri dapat memilih apakh di potong tangan dan kakinya dulu,baru di hukum mati dan di salib,ataukah di hukum mati saja tanpa tdi potong tangan dan kakinya dulu,ataukah di salib saja. Sedangkan menurut imam malik bahwa aw dalam ayat di atas berfungsi sebagai takyir.maka imam dapat memilih alternatif di antara 4 hukuman yang di tentukan dalam Al-qur’an yaitu hukuman mati,salib,potong tangan dan kaki secara bersilang atau hukuman pengasingan.Namun tidak boleh menggabungkan sangsi-sangsi yang di tentukan dalam ayat di atas.[9]

5.    Jarimah al-baghy (penberontakan).

Al-baghyu(pemberontakan) sering di artikan sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan.Ulama’ syafi’iyah berpendapat bahwa yang di maksut al-bagyu adalah orang-orang muslim yang menyalahi imam dengan cara tidak menaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan kekuatan,argumentasi dan memiliki pemimpin.sedangkan menurut madzab malik al-baghyu di artikan sebagai penolakan untuk menaati imam yang sah dengan jalan kekuatan.Penolakan untuk taat ini mungkin di dasarkan pada penafsiran tertentu.mereka mendefinisikan bughat sebagai satu kelompok orang-orang islam yang menentang imam dan wakil-wakilnya.[10]

Hukum bunuh bagi pemberontak di pahami oleh sebagian ulama’ sebagai serangan balik dan hanya di tujukan untuk mematahkan pemberontak guna mengembalikan ketaatannya kepada penguasa yang sah.Memerangi pemberontak hukumnya adalah wajib,karena menegakkan hukum Allah, sebagaimana di jelaskan dalam Al-Qur’an dalam surat al-hujarat ayat 9:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Jika salah satu dari kedua golongan berbuat aniaya terhadap golongan yang lain,maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah Allah)”.

6.    Jarimah syurb al-Khamr

Larangan meminum minuman memabukan di dasarkan pada ayat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 90 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ    

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

            Al-Qur’an tidak menegaskan hukuman apa bagi peminum khamr.Sangsi terhadap delik ini di sandarkan pada hadits melalui sunah fi’liyahnya,bahwa hukuman terhadap jarimah ini adalah 40 kali dera.Abu bakar mengikuti jejak ini tetapi umar bin khatab menjatuhkan 80 kali dera.[11]Menurut imam Abu hanifah dan imam malik,sanksi meminum khamr adalah 80 kali dera,sedangkan menurut Imam Syafi’i adalah 40 kali dera,Tetapi imam boleh menambah menjadi 80 kali dera.Jadi yang 40 kali adalah hukuman had,sedangkan sisanya adalah hukuman ta’zir.[12] Pelarangan jarimah syurb al-khamr ,juga hal hal yang mempunyai illat hukum yang sama, di haramkan karena memabukan,maka setiap yang memabukan adalah haram.termasuk jenis khamr adalah narkotika,heroin,sabu-sabu dan lain sebagainya.

7.    Jarimah Riddah.

Riddah dari segi bahasa berarti rujuk (kembali).menurut istilah riddah adalah orang yang kembali dari agama islam,pelakunya di sebut murtad.yakni ia secara berani menyatakan kafir setelah beriman.[13] Nash yang berkaitan dengan murtad di jelaskan dalam al-Qur’an surat Al-baqoroh ayat 217 :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِهِ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ وَلا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.

            Dalam hadis di riwayatkan bahwa rasulullah bersabda :

من بدل دينه فاقتلوه[14]

“Artinya :Barang siapa mengganti agamanya,maka bunuhlah dia”.

            Para ulama’beragam dalam membuat batasan tentang perbuatan riddah.Riddah dapat di lakukan dengan perbuatan(atau meninggalkan perbuatan),dengan ucapan, dengan I’tikad. Yang di maksut dengan riddah dengan perbuatan adalah melakukan perbuatan yang haram dengan menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya perbuatan tidak wajib,misalnya sujud kepada matahari atau bulan, atau melakukan zina dengan menganggap zina itu bukan suatu perbuatan maksiat.

Adapun ketentuan di antara para ahli hukum islam bahwa tindak pidana ini di ancam dengan hukuman mati perlu di kaji ulang.karena pernyataan nabi ketika orang yang mengganti agama harus di hukum mati,hal itu terjadi pada musim perang,yakni ada sebagian tentara islam yang berjiwa munafik melakukan tindakan desersi (penghianatan Negara),maka orang yang melakukan desersi di perintahkan untuk di bunuh.[15]

C.  JARIMAH TA’ZIR

Menurut bahasa, lafad ta’zir berasal dari kata : azzara yang berarti man’u wa radda (mencegah atau menolak). Ta’zir dapat berarti addaba (mendidik) atau azahamu wa waqara yang artinya mengagungkan dan menghormati. Dari berbagai pengertian, makna ta’zir yang  paling relevan adalah al – man’u  wa arraddu (mencegah atau menolak). Pengertian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Abdul Qodir Audah dan wahbah zuhaili. Ta’zir diartikan mencegah dan menolak, karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Ta’zir  diartikan mendidik karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya[16].

Menurut istilah, sebagaimana yang diungkapkan oleh al mawardi bahwa yang dimaksud dengan ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa (maksiat) yang hukumanya belum ditetapkan oleh syara’.

Jadi dengan demikian jarimah ta’zir suatu jarimah yang hukumanya diserahkan kepada hakim atau penguasa. Hakim dalam hal ini diberi wewenang untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku jarimah ta’zir.  Dari definisi – definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah – jarimah yang hukumanya belum ditetapkan oleh syara’.

Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan – perbuatan maksiat yang tidak dikenakan had dan tidak pula kifarat, dengan demikian, inti dari jarimah ta’zir adalah perbuatan maksiat.  Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang  diharamkan (dilarang).  Para fuqaha’ memberi  contoh meninggalkan kewajiban seperti menolak  menbayar zakat, meninggalkan salat fardhu, enggan membayar utang padahal mampu, menghiyanati amanah. Sebagai contoh melalukan perbuatan yang dilarang, seperti mencium perempuan lain bukan istri, sumpah palsu, penipuan dalam jual beli, melindungi dan menyembunyikan pelaku kejahatan, dan sebagainya. Contoh diatas termasuk dalam kategori  jarimah ta’zir.

Disamping itu juga hukuman ta’zir dapat dijatuhkan apabila hal itu dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Meskipun perbuatanya itu bukan maksiat, melainkan mubah. Perbuatan  - perbuatan yang termasuk kelompok ini tidak bisa ditentukan, karena perbuatanya tersebut tidak diharamkan karena zatnya, melainkan karena sifatnya. Apabila sifat tersebut ada maka perbuatanya diharamkan, dan apabila sifat tersebut tidak ada maka perbuatanya mubah. Sitat yang menjadi alasan (illat) dikarenakannya hukuman atas perbuatannya tersebut adalah membahayakan atau merugikan kepentingan umum. Apabila dalam suatu perbuatan merugikan kepentingan umum maka perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelaku dikenai hukuman[17].

Penjatuhan hukuman ta’zir untuk kepentingan umum ini dasarnya kepada tindakan Rosulullah saw, yang menahan seorang laki – laki yang diduga mencuri unta. Setelah diketahui ternyata ia tidak mencurinya, lalu Rosulullah melepaskannya. Analisis terhadap tindakan Rosulullah tersebut adalah bahwa penahanan adalah hukuman ta’zir, sedangkan hukuman hanya dapat dikenakan terhadap suatu jarimah /yang telah dapat dibuktikan.

Dari uraian diatas, dapat diambil intisari bahwa jarimah ta’zir terdiri atas tiga bagian, yaitu :

a)    Ta’zir melakukan perbuatan maksiat

b)   Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum;

c)    Ta’zir karena melakukan pelanggaran

Perbedaan jarimah hudud dan ta’zir

1.      Hukuman hudud diberlakukan secara sama untuk semua orang (pelaku), sedangkan hukumanya ta’zir pelaksanaannya dapat berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada keadaan kondisi masing – masing pelaku. Apabila seorang terhormat dan baik – baik, suatu ketika tergelincir melakukan tindak pidana ta’zir maka kondisinya itu dapat dijadikan pertimbangan untuk membebaskannya atau menjatuhkan hukuman lebih berat. Hal ini didasarkan kepada hadits Nabi Muhammad SAW, Yang artinya : dari Aisyah ra. bahwa Nabi saw bersabda : “Ringankanlah hukuman untuk orang yang baik – baik atas kesalahan mereka kecuali jarimah hudud”.

2.      Dalam jarimah hudud tidak berlaku pembelaan dan pengampungan apabila perkaranya sudah dibawa ke pengadilan. Sedangkan jarimah ta’zir kemungkinan untuk memberikan pengampunan terbuka lebar, baik oleh individu maupun pemerintah[18].

3.      Orang yang mati karena dikenakan hukuman ta’zir, berhak memperoleh ganti rugi. Sedangkan menurut jarimah hudud hal ini tidak berlaku.




KESIMPULAN

            Secara umum, pengertian jinayat sama dengan hukum pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam hukum pidana Islam (jinayat) meliputi, jarimah hudud, qishas diyat, dan ta’zir.

Ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh al qur’an dan hadits yangberkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan yang serupa, penentuan jenis pidana ta’zir ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan kemaslahatan menusia itu sendir




DAFTAR PUSTAKA

Munajat,Makhrus.Hukum Pidana Di indonesia.Yogyakarta:Teras, 2009.

Haliman, Hukum Pidana  islam Menurut Adjaran ahli sunah wal jama’ah.Jakarta:Bulan bintang, 1968.

Awdah,Abd qodir.At-Tasyri’ al-jinai al-islami.Beirut:Dar al fikr,1963.

Jazuli,Fiqh jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam.Jakarta:Bintang Bulan, 1996.









[1] Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Aswaja,(Jakarta: Bulan Bintang, 1967),225.

[2] Abd al-Qadir awdah,Al-Tasyri al-Jina’I al-Islami(Beirut:Dar al-Fikr,t.t,),79

[3] Abu zahrah,Al-jarimah wa al-uqubah Fi al-Fiqh al-Islam( Beirut:Dar al-Fikr,t.t.),109

[4] H.A. Djazuli,fiqh jinayah:Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam(Jakarta:rajawali Press,1996),66.

[5] Syarbini al-khatib,Mughni al-Muhtaj,(Mesir:Dar al-bab al-Halabi wa awladuhu,1978),158.

[6] Marsum,Fiqh.,96. H.A. dzazuli,Fiqh jinayah., 77.

[7] As-Sayid sabiq,Fiqh..,II:393.

[8] Ibid.,87.

[9] Ibid.,402.

[10] Marsum,fiqh jinayah;hukum pidana islam (Yogyakarta:Fak Hukum UII,1994),109

[11] Ibid.,69-70

[12] H.A. Jazuli,fiqh jinayah:Upaya menanggulangi kejahatan dalam Islam,(Jakarta:rajawali Press,1996),90.

[13]Syarbini al-khatib,Mughni al-Muhtaj,(Mesir:Dar al-bab al-Halabi wa awladuhu,1978),133.

[14]Imam Bukhari,shahih al-Bukhari,(Beirut:dar al-Fikr,tt),IV,87.

[15]Haliman,HukumPidanaislammenurutajaranahlisunnahwaljama’ah(Jakarta:BulanBintang),263.

[16] Makhrus munajat, hukum pidana islam indonesia, (yogyakarta: TERAS, 2009), 177.

[17] Ibid, 178

[18] Ibid, 185



0 komentar:

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com