BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aliran Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran
mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di
kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada
masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini
adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan
mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat
mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini
dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan
mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun.
Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam
(yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As
Sunnah)[1].
Aliran mu’tazilah merupakan salah
satu aliran teologi dalam islam yang dapat dikelompokan sebagai kaum rasionalis
islam. Aliran ini muncul sekitas abad pertama hijriyah, di kota basrah, yang
ketika itu menjadi kota sentral ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam.
Disamping itu, aneka kebudayaan asing dan macam – macam agama bertemu di kota
ini. Dengan demikian luas dan banyaknya penganut islam, semakin banyak pula
musuh – musuh yang ingin menghancurkannya, baik dari internal umat islam secara
politis maupun dari eksternal umat islam secara dogmatis.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti
berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri
secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan[2].
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik
murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti
bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan
lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut
penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka
menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral
politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh
dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut
Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di
kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini
muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah
tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II
inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki
banyak versi.
B.
Pokok – Pokok Ajaran Mu’tazilah
Menurut Al-Bagdady dalam kitabnya
(al-farqu bainal firaqi) aliran mu’tazilah terpecah-pecah menjadi 22 golongan,
dua diantaranya dianggap telah keluar dari Islam. Meskipun terpecah-pecah,
namun semuanya masih tergabung dalam kelima pokok ajaran mereka, yaitu[3]:
1. Tauhid
Tauhid adalah dasar Islam pertama
dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus golongan Mu’tazilah, tetapi
karena mereka menafsirkannya sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan
sungguh-sungguh maka mereka terkenal sebagai ahli tauhid.
Tuhan dalam paham Mu’tazilah
betul-betul Esa dan tidakadasesuatu yang serupa dengan Nya. Ia menolak
paham anthromorpisme (paham yang menggambarkan Tuhannya serupa
dengan makhluk Nya) dan juga menolakpaham beaticvision(Tuhan dapat
dilihat dengan mata kepala) untuk menjaga kemurnian Kemahaesaan Tuhan,
Mu’tazilah menolak sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar Zat
Tuhan. Hal ini tidak berartiTuhan tak diberisifat, tetapi sifat-sifat itu tak
terpisah dari Zat Nya. Mu’tazilah membagi sifat Tuhan kepada dua golongan :
a) Sifat-sifat yang merupakan esensi
Tuhan, disebut sifat dzatiyah, seperti al Wujud - al Qadim – al Hayy dan
lain sebagainya.
b) Sifat-sifat yang merupakan
perbuatanTuhan, disebut juga dengan sifat fi’liyah yang mengandung arti
hubungan antara Tuhan dengan makhluk Nya, seperti al
Iradah, Kalam, al Adl, dan lain-lain.
Kedua sifat tersebut tak terpisah atau berada di luar Zat Tuhan, Tuhan
Berkehendak, Maha Kuasa dan sifat- sifat lainnya semuanya bersama dengan Zat.
Jadi antara Zat dan sifat tidak terpisah.
Pandangan tersebut mengandung unsur teori yang dikemukakan oleh
Aristoteles bahwa :penggerak pertama adalah akal, sekaligus subyek yang
berpikir.
2. Al-Adl
Dasar keadilan adalah meletakkan
pertanggungan jawab manusia atas segala perbuatanya. Paham keadilan dimaksudkan untuk mensucikan Tuhan dari perbuatan Nya.
Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak akan berbuat zalim, bahkan
semua perbuatan Tuhan adalah baik. Untuk mengekspresikan kebaikan Tuhan, Mu’tazilah
mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan mendatangkan yang baik dan terbaik bagi
manusia. Dari sinilah muncul paham al Shalahwa al Aslah yakni
paham Lutf atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib mencurahkan lutf
bagi manusia, misalnya mengirim Nabi dan Rasul untuk membawa petunjuk bagi
manusia.
Keadilan Tuhan menuntut kebebasan bagi manusia karena tidak ada artinya syari’ah
dan pengutusan para Nabi dan Rasul kepada yang tidak mempunyai kebebasan.
Karena itu dalam pandangan Mu’tazilah, manusia bebas menentukan perbuatannya[4].
3. Janji
dan ancaman
Prinsip ini adalah kelanjutan
prinsip keadilan yang harus ada pada Tuhan. Golongan Mu’tazilah yakin bahwa
janji Tuhan akan memberikan pahala dan ancaman-Nya akan menjatuhkan siksa atau
neraka pasti dilaksanakan, karena Tuhan sudah menjanjikan demikian. Siapa yang
baik akan dibalas dengan kebaikan dan siapa yang berbuat jahat akan dibalas
dengan kejahatan pula. Tidak ada pengampunan terhadap dosa besar tanpa taubat
sebagaimana tidak mungkin orang yang berbuat baik dihalang-halangi menerima
pahala. Pendapat golongan Mu’tazilah tersebut merupakan tolak belakang pendapat
golongan Murji’ah sebagaimana ketaatan tidak akan berguna di samping kekafiran.
Kalau pendapat ini dibenarkan, maka ancaman Tuhan tidak akan ada artinya sama
sekali, suatu hal yang mustahil ada pada Tuhan.
4. Tempat
di antara dua tempat
Prinsip ini sangat penting,
karenanya Wasil bin Ata’ memisahkan diri dari Hasan Basri. Wasil memutuskan
bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, tidak mukmin tidak pula
kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah suatu hal yang berdiri sendiri antara
iman dan kafir. Tingkatan orang fasik di bawah orang mukmin dan di atas orang
kafir[5].
Jalan tengah ini diambilnya dari:
a.
Ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits yang menganjurkan kita mengambil jalan
tengah dalam segala sesuatu.
b.
Fikiran-fikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa keutamaan (fadlilah; virtue)
ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
c.
Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat diantara baik dan buruk.
Golongan Mu’tazilah memperdalam
jalan tengah tersebut sehingga dijadikanya suatu prinsip rationalis-ethis
philosophis, yaitu pengambilan jalan tengah antara dua ujungnya yang
berlebih-lebihan.
Golongan Mu’tazilah membagi
maksiat kepada dua bagian yaitu besar dan kecil. Maksiat besar dibagi dua:
1)
Yang merusak dasar agama, yaitu syirik (mempersekutukan Tuhan) dan orang yang
mengerjakannya menjadi kafir.
2)
Yang tidak merusak dasar agama, mengerjakanya bukan lagi orang mukmin, karena ia
melanggar agama, juga tidak menjadi kafir, karena ia masih mengucapkan
syahadat, karenanya ia menjadi orang fasik.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Prinsip ini lebih banyak
berhubungan dengan taklif dan lapangan fiqih daripada lapangan kepercayaan atau
tauhid. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memuat prinsip ini, antara lain Surat
Ali Imran ayat 104 dan Lukman ayat 17. Prinsip ini harus dijalankan oleh setiap
orang Islam untuk penyiaran agama dan memberi petunjuk kepada orang-orang yang
sesat[6].
C.
Konsep Pemikiran Mu’tazilah
1.
Ketauhidan
Mu’tazilah menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu bersifat dengan sifat-sifat yang azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya sebagai dzat-Nya.
Mu’tazilah menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu bersifat dengan sifat-sifat yang azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya sebagai dzat-Nya.
2.
Dosa Besar
Orang Islam yang mengerjakan dosa besar, yang sampai matinya belum taubat, orang tersebut dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya itu. Mereka itu dinamakan orang ”fasiq”.
Orang Islam yang mengerjakan dosa besar, yang sampai matinya belum taubat, orang tersebut dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya itu. Mereka itu dinamakan orang ”fasiq”.
3.
Qadar
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah yang menjadikan segala perbuatan makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan segala perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka diberi dosa dan pahala.
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah yang menjadikan segala perbuatan makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan segala perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka diberi dosa dan pahala.
4.
Kedudukan Akal
Sepanjang sejarah telah diketahui bahwa kaum Mu’tazilah membentuk madzhabnya lebih mengutamakan akal, bukan mengutamakan Al Qur’an dan Hadist.
Sepanjang sejarah telah diketahui bahwa kaum Mu’tazilah membentuk madzhabnya lebih mengutamakan akal, bukan mengutamakan Al Qur’an dan Hadist.
D.
Aliran Syi’ah
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna:
pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang
berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut terminologi syariat bermakna:
Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara para
sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin,
demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau[7]. Syi'ah, dalam sejarahnya
mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah
mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini[8].
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini[8].
E. Pola Pemikiran
dan Doktrin Syi'ah
Syi’ah memiliki beberapa
doktrin diantaranya:
1) Ahlul Bait secara bahasa ahlul bait
berarti keluarga, ada 3 bentuk pengertian ahlul bait yaitu:
a) Mencangkup isteri-isteri Rosulullah
SAW dan seluruh Bani Hasyim.
b) Hanya Bani Hasyim.
c) Terbatas hanya Rosulullah SAW, Ali,
Fatimah, Hasan, Husein dan imam-imam keterunan Ali.
2) Al-Bada' , adalah keputusan Allah yang
mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkanNya dengan
keputusan baru.
3) Asura, berasal dari kata asyara yang
berarti sepuluh.Yang mempunya maksud yaitu hari peringatan wafatnya Husein bin
Ali.
4) Imamah (pemimpin).imamah meyakini bahwa
harus ada pemimpin-pemimpin setelah Rosulullah.
5) Ismah,berasal dari kata asama'
yang berarti terpelihara dan terpelihara. Doktrin ini meyakini bahwa imam-imam
sepeti Rosulullah SAW telah dijamin oleh Allah terhindar dari perbuatan
salah dan lupa.
6) Mahdawiyah, meyakini bahwa akan
datangnya juru selamat pada hari akhir yang bernama Imam Mahdi.
7) Marja'yiyah, dari kata marja'
yang artinya tempat kembali.
8) Raj'ah adalah keyakinan akan
dihidupkannya kembali sebagian hamba Allah yang paling sholeh dan yang
paling durhaka untuk menunjukkan kebesaranNya.
9) Taqiyah, yaitu sifat berhati-hati demi
menjaga keselamatan jiwa.
10) Tawasul,memohon kepda Allah dengan menyebutkan pribadi atau
kedudukan seorang imam, nabi, atau bahkan para wali agar do'anya cepat
terkabul.
11) Tawalli dan Tabarri, yang aartinya mengangkat seorang sebagai
pemimpinnya, tabarri yang berarti melepaskan diri atau menjauhkan diri dari
seseorang[9].
F.
Sekte-Sekte Dalam Syi'ah
Semua sekte dalam Syi'ah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali. Namun setelah itu muncul perselisihan mengenai siapa pengganti imam Husein bin Ali. Dalam hal ini muncul dua pendapat. Pendapat kelompok pertama yaitu imamah beralih kepada Ali bin Husein, putera Husein bin Ali, sedangkan kelompok lainnya meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin Hanafiyah, putera Ali bin Abi Thalib dari isteri bukan Fatimah[10].
Akibat perbedaan antara dua kelompok ini maka muncul beberapa sekte dalam Syi'ah.Para penulis klasik berselisih tajam mengenai pembagian sekte dalam Syi'ah ini.Akan tetapi, para ahli umumnya membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah dan Kaum Gulat.
a. Kaisaniyah
Adalah sekte Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Husein bin Ali. Nama Kaisaniyah diambil dari nama sorang bekas budak Ali bin Abi Thalib, Kaisan, atau dari nama Mukhtar bin Abi Ubaid yang juga dipanggil dengan nama Kaisan.
b. Zaidiyah
Adalah sekte dalam Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui kepemimpinan Ali bin Husein Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah, karena menurut mereka Ali bin Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin. Dalam Zaidiyah, seseorang dianggap sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria, yakni: keturunan Fatimah binti Muhammad SAW, berpengetahuan luas tentang agama, zahid (hidup hanya dengan beribadah), berjihad dihadapan Allah SWT dengan mengangkat senjata dan berani[11].
Sekte Zaidiyah mengakui keabsahan khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar bin Khattab. Dalam hal ini, Ali bn Abi Thalib dinilai lebih tinggi dari pada Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Oleh karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syi'ah yang paling dekat dengan sunnah. Disebut juga Lima Imam dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.
c. Imamiyah
Adalah golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam pengganti dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar, maupun Utsman.Bagi mereka persoalan imamah adalah salah suatu persoalan pokok dalam agama atau ushuludin.Sekte imamah pecah menjadi beberapa golongan.Golongan yang besar adalah golongan Isna' Asyariyah atau Syi'ah dua belas.Golongan terbesar kedua adalah golongan Isma'iliyah.Golongan Isma'iliyah berkuasa di Mesir dan Baghadad. Disebut juga Tujuh Imam. Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
1) Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2) Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan Al-Mujtaba
3) Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid
4) Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5) Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad Al-Baqir
6) Ja'far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far Ash-Shadiq
7) Ismail bin Ja'far (721 – 755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.
d. Kaum Ghulat
Merupakan golongan yang berlebih-lebihan dalam memuja Ali bin Abi Thalib atau imam mereka yang lain dengan menganggap bahwa para imam terdebut bukan manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri[12].
Seorang ulama Ahlussunnah, Muhammad Abu Zahrah, mengatakan kelompok Syiah ektremis ini hampir dapat dikatakan telah punah.
Di dalam Syiah Ghulat terdapat beberapa golongan, yakni As-Sabaiyah, Al-Khaththabiyah, Al-Ghurabiyah, Al-Qaramithah, Al-Manshuriyah, An-Nushaiziyah, Al-Kayyaliyah, Al-Kaisaniyah, dan lainnya.
Menurut Asy-Syahrastany, As-Sabaiyah adalah pengikut Abdullah bin Saba' yang konon pernah berkata kepada Sayyidina Ali: “Anta Anta,” yang berarti "Engkau adalah Tuhan". Ia juga menyatakan sahabat Nabi ini memiliki tetesan ketuhanan.
Sementara Al-Khaththabiyah adalah penganut aliran Abu Al-Khaththab Al-Asady yang menyatakan Imam Ja'far Ash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan.Sementara Imam Ja'far mengingkari dan mengutuk kelompok ini.Lantaran sikap tersebut, pemimpin kelompok ini, Abu Al-Khaththab, mengangkat dirinya sebagai imam.
Golongan Al-Ghurabiyah percaya malaikat Jibril diutus Allah untuk Ali bin Ali Thalib ra. Namun, mereka menilai malaikat Jibril keliru dan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad.
Sementara Syiah Qaramithah dikenal sangat ekstrem karena menyatakan Syyidina Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan. Kelompok ini pernah berkuasa di Bahrain dan Yaman, serta menguasai Mekah pada 930 Masehi.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkataan Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab (I'tazala) yang bermaksud "meninggalkan", "menjauhkan diri".Mu’tazilah adalah satu satu dari madzhab teologi dalam Islam. Kelahiran Mu’tazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqah gurunya, Hasan Basri, karena perbedaan pendapat tentang status orang Islam yang melakukan dosa besar
Diatara doktrin mu’tazilah yang dimunculkan oleh mereka yaitu mengenai Kalam Mu’tazilah, yang dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang disebut “al- Ushul al-Khamsah”. (1) Keesaan Tuhan, (2) Keadilan-Nya, (3) Janji dan ancaman-Nya, (4) Posisi di antara dua posisi, (5) Perintah untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan jahat.
Implikasi dari bermunculannya aliran kalam yang berbeda-beda tersebut dalam bidang hukum khususnya hukum islam ialah adanya berbagai macam ikhtilaf karena perbedaan sudut pandang dalam memahami hukum maupun metode yang di anut atau dilalui dari masing-masing aliran kalam tersebut.
Ajaran dalam Syi'ah amatlah banyak dan berbeda-beda, sehingga kita harus mencari dan mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, dan tokoh-tokoh yang berdampak besar dalam golongan ini. Selain itu, di dalam aliran Syi’ah ini terdapat banyak bagian-bagian dan perbedaan pendapat dalam bertahuid. Yang ditandai dengan munculnya beberapa sekte seperti Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat.
Hal ini menuntut kita untuk selalu berhati-hati serta mengantisipasi atas adanya doktrin keras yang mungkin berkembang, atau bahkan telah begitu pesat dalam penyebarluasan ajarannya ke negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia. Salah satunya adalah menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin. Bahkan yang lebih parah adalah yang memuja dan menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib bukan manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.
Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita harus selalu cermat serta berhati-hati dalam meyakini dan mempelajari suatu aliran baik itu Syi’ah maupun aliran pemikiran yang lain. Selain itu, jangan sampai terlalu fanatik, karena fanatisme akan berdampak pada keburukan. Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan.
[1] Ahmad
Hanafi, Theology Islam (Jakarta : PT Bulan Bintang,
1996), hal. 42
[2] Ahmad
Hanafi, Op.Cit, hal. 43
[3] Ahmad Hanafi, Op. Cit,, hal. 43-45
[4] Ibid.,47
[5] Rojak Abdul, Ilmu Kalam (Bandung : CV Pustaka
Setia,2006),
hal.23
[6] Ibid.,24-25
[7] Sayyid Muhibudin, Mengenal Pokok-pokok Ajaran Syi'ah Al-Imamiyah
(Surabaya: PT.bina ilmu, 1984), hal. 34
[8] Ibid.,35 - 36
[9] Ibid.,38 - 39
[10] Abdur Razak, Ilmu Kalam (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2,
hal.90
[11] Ibid.,91 - 92
[12] Ibid.,96-97






0 komentar:
Posting Komentar